Rumah Adat Sunda

tempat tinggal masyarakat sunda jaman dulu.

Pusaka

alat bela diri khas sunda jaman dahulu sebelum kemerdekaan.

Wayang Golek

kesenian khas jawa barat yang menceritakan kehidupan rakyat sunda dan juga kritikan cerdas kepada pemerintahan.

Kesatria Pandawa

yang membela bumi amarta.

Tokoh Antagonis Buta

yang melakukan kejahatan tanpa pandang hulu tapi uang.

Kamis, 05 Januari 2017

alat musik tiup


alat musik tiup sunda yang biasa di sebut suling bambu

    Sejarah tentang suling bambu sudah sedemikan lama dan eratnya dengan peradaban manusia. Suling bambu menghasilkan bunyi siulan yan kasar dan melengking. Udara yang kita tiupkan ke dalam lubang akan mengalir lalu membentur sepanjang dinding tabung yang memiliki fungsi sebagai resonator. Frekuensi nada akan sangat dipengaruhi dengan keras dan lembutnya tiupan. Sedangkan perbedaan nada bisa dihasilkan dari terbuka tutupnya lubang pengatur sepanjang suling bambu. Nada-nada dalam suling biasanya terdiri dari , di, re, ri ,mi, fa, fi, sol, sel, la, li, si dan do. Nada-nada ini lalu melengking dan bisa sampai oktaf di atasnya. Nada dalam suling bisa mencapai 3 oktaf atau lebih.


     Suling banyak digunakan sebagai nada dasar karena jangkauan nada yang jauh. Selain itu, suling juga bisa mengiringi penyanyi yang bersuara rendah sampai penyanyi yang memiliki suara tinggi dan melengking. Ada yang beranggapan bahwa alat musik bernama lain seruling ini telah dimainkan oleh manusia purba Neandhertal. Ditemukan beberapa peninggalan beberapa seruling yang telah berumur sekitar 40.000 tahun. Seruling zaman purba ini dibuat dari bahan tulang hewan. Menurut perkiraan, lubang-lubang pada seruling tulang itu menghasilkan nada-nada tertentu. Nada-nadanya telah diatur sehingga pembuatnya tentu telah merancangnya dengan sengaja. Anggapan ini diungkapkan oleh peniliti bernama Bob Fink. Manusia purba Neandhertal adalah manusia yang diperkirakan hidup sekitar 100.000 tahun yang lalu. Manusia Neandhertal banyak ditemukan di daratan Eropa. Kemunculannya dianggap mendadak karena tidak ada rangkaian evolusi terhadap jenis manusia purba sebelumnya.

      Manusia Neandhertal akhirnya punah dengan sebab yang belum diketahui. Bisa saja berasimilasi dengan ras lain atau memang musnah. Manusia Neandhertal memiliki beberapa perbedaan dengan manusia modern. Rangka tubuh mereka lebih tegap dan memiliki volume otak yang lebih besar jika dibandingkan dengan manusia modern. Anggapan bahwa mereka merupakan manusia kera sedikit diragukan melihat kapasitas otak mereka. Ada yang berpendapat bahwa mereka memiliki tingkat kecerdasan dan keterampilan yang tidak jauh dengan kita. Bahkan dengan ditemukannya suling, maka ada juga yang menyimpulkan bahwa mereka telah memilik peradaban yang lumayan maju. Tidak seperti manusia purba yang yang hanya makan dan bertahan hidup, manusia Neandhertal sudah mengenal musik dalam peradaban mereka. Suling juga dipercaya sudah berkembang dimasa Mesir Kuno. Terdapat peninggalan yang menunjukkan bahwa masyarakat tingkat sosial atas di Mesir pada waktu itu telah menggunakan alat musik tiup semacam suling.

      Dalam relief berupa gambar huruf heriogliph juga terdapat gambar yang menyerupai alat-alat musik modern. Gambar yang terlihat menyerupai klarinet, seruling, sampai dengan harpa. Gambar seruling dalam gambar herioglioh disebut dengan Aulos. Namun Aulos dibuat dari bahan baku kayu. Aulos memiliki dua buah tabung yang bisa ditiup. Masing-masing tabung memiliki empat sampai lima lubang nada yang berbeda-beda. Aulos sedikit susah dimainkan karena harus memiliki dua buluh yang dijadikan satu. Sejarah suling bambu juga banyak berkembang di daratan China. Di negara ini, suling banyak terbuat dari bambu. Hal ini tidaklah mengherankan karena bambu banyak ditemukan di negara ini. Walau begitu, ada juga suling yang dibuat dari bahan utama batu giok dan tulang belulang hewan. Suling di China sudah cukup berkembang bentuknya. Suling bambu China memakai membran resonansi yang ada di dalam lubang.

      Dampak dari membran resonansi ini adalah suara suling bambu yang lebih cerah. China memiliki beberapa jenis penyebutan untuk suling karena perbedaan fungsi dan nadanya. Jenis suling bambu yang sering dipakai di dalam orkestra modern adalah Bangdi, Qudi, Xindi, dan Dadi, Jepang juga tidak ketinggalan dalam mengembangkan alat musik tiup ini. Suling bambu disebut dengan Fie di Negeri Sakura ini. Suling di Jepang memakai bahan baku utama dari bambu juga. Bambu untuk membuat suling disebut dengan Shinobue di Jepang. Suling bambu di negeri ini banyak memiliki nada-nada tinggi. Di wilayah India, Pakistan, dan Bangladesh, suling disebut dengan nama Bansuri. Bansuri memiliki panjang mencapai 14 inchi. Hal ini membuat Bansuri terlihat panjang dibandingkan suling bambu di negara-negara lain. Bansuri memiliki hubungan erat dengan epos Bhagawad Gita. Bansuri disebut sebagai alat musik yang erat hubungannya dalam kisah cinta antara Khrisna dan Radha. Pertunjukkan Bansuri sering kita lihat di televisi.

     Kita sering melihat di film-film ketika seekor ular kobra di dala keranjang meliuk-liukkan badannya diiringi tiupan Bansuri. Ular tersebut tidak mengikuti irama dari lagu, karena ular tidak mendengar. Ular kobra meliuk-liukkan badannya untuk mengantisipasi gerakan dari suling yang dipegang oleh peniup. Ular menganggapnya sebagai ancaman sehingga dia melakukan gerakan-gerakan untuk menjaga diri. Peniup mampu menjaga jarak dengan baik sehingga dia tidak diserang oleh ular tersebut. Tanah Eropa juga tidak ketinggalan. Di Jerman suling dinamai Blockflote. Alat musik ini merupakan perpaduan dari suling tradisional Eropa Barat dan Asia serta Afrika. Suling begitu terkenal di Jerman, apalagi jika melihat legenda Peniup Seruling dari Hamelin.

    Legenda ini sering menjadi dongeng bahkan di Indonesia. Ceritanya berpusat pada seorang peniup suling misterius yang mengaku bisa menghilangkan gejala hama tikus di Hamelin. Dia meniup suling dan semua tikus mengikutinya. Tikus-tikus itu mengikutinya menyelam di sungai, sehingga mati tenggelam semuanya. Namun walikota tidak memberikan imbalan sesuai kesepakatan. Sang peniup suling yang marah lalu bersumpah akan menuntut balas. Dia akhirnya meniup suling dan diikuti oleh seratus tiga puluh anak di kota kecil itu. Seluruh anak-anak itu mengikutinya ke dalam gua dan mereka tidak pernah kembali ini. Konon kejadian ini benar-benar terjadi pada tahun 1284. Suling di Eropa berkembang pada masa Renanissance. Suling banyak dimainkan dalam pertunjukkan orkestra bersama instrumen lainnya. Jadi seperti paduan suara, nada-nada dalam Blockflote memiliki jenis tertentu.

     Ada suling bersuara sopran, alto, tenor, dan bass. Suling-suling ini dinamai juga sebagai Blockfloten Familie, yang berarti keluarga suling. Bahan baku dari suling eropa adalah kayu, dan kadang bambu. Indonesia juga memiliki ceritanya mengenai suling. Suling di nusantara banyak dibuat dari bambu. Hal ini tidak mengherankan karena bambu banyak dijumpai di negara ini. Suling bambu banyak dimainkan untuk mengiringi musik-musik tradisional. Musik modern seperti dangdut juga pasti memiliki intrumen suling di dalamnya. Musik keroncong juga demikian. Pada awalanya suling di Indonesia juga dimainkan dalam musik gereja, namun hal ini sudah mulai ditinggalkan modern ini.



gareng



gareng anak semar yang terakhir



Jumat, 20 Mei 2016

kujang kembar

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhgYbRR5wvX9M5h1i7ZkAPylyGwSt1UUwosQqBCKRfazcq5sJ5ONvacWak8Kwixr5UQ_9pyFVNB1vkhHBLKbWXVn8yNacFi2AF2JR23HB2idWwYmJaPafHoFugY2mCTwlk7xIS28mUuRoU/s1600/kujang.jpg 
alat ini digunakan sebagai alat bela diri masyarakat tanah pasundan, masyarakat sunda menyebut ini adalah kujang ( pusaka tertinggi di tanah pasundan tapi asal usul ada nya alat ini masih terus di teliti sampai sekarang



Selasa, 10 Mei 2016

sunda

    Salakanaga Menurut naskah “Pustaka Rayja-rayja I Bhumi Nusantara”, kerajaan di pulau Jawa adalah Salakanagara (artinya: negara perak). Salakanagara didirikan pada tahun 52 Saka (130/131 Masehi). Lokasi kerajaan tersebut dipercaya berada di Teluk Lada, kota Pandeglang, kota yang terkenal dengan hasil logamnya (Pandeglang dalam bahasa Sunda merupakan singkatan dari kata-kata panday dan geulang yang artinya pembuat gelang). 

    Dr. Edi S. Ekajati, sejarawan Sunda, memperkirakan bahwa letak ibukota kerajaan tersebut adalah yang menjadi kota Merak sekarang (merak dalam bahasa Sunda artinya "membuat perak"). Sebagain lagi memperkirakan bahwa kerajaan tersebut terletak di sekitar Gunung salak, berdasarkan pengucapan kata "Salaka" dan kata "Salak" yang hampir sama.

    Adalah sangat mungkin bahwa argyly atau Argyros pada ujung barat Iabadiou yang disebutkan Claudius Ptolemaeus Pelusiniensis Pletomy) dari Mesir (87-150 AD) dalam bukunya “Geographike Hypergesis” adalah Salakanagara.

    Suatu laporan dari Cina pada tahun 132 menyebutkan Pien, raja Ye-tiau, meminjamkan stempel mas dan pita ungu kepada Tiao-Pien. Kata Ye-tiau ditafsirkan oleh G. Ferrand, seorang sejarawan Perancis, sebagai Javadwipa dan Tiao-pien merujuk kepada Dewawarman.Kerajaan Salakanagara kemudian digantikan oleh kerajaan Tarumanagara.

    Kerajaan Tarumanagara adalah antara abad keempat dan ketujuh. Catatan sejarah dari kerajaan tersebut yang berupa prasasti bertebaran di bagian barat pulau Jawa. Pelancong dari Cina juga menyebutkan keberadaan dari kerajaan ini. Sumber-sumber sejarah tersebut sepakat bahwa raja Tarumanagara yang paling kuat adalah raja Purnawarman, yang menaklukkan negara-negara di sekitarnya.

  Kerajaan Sunda, yang disebut juga Kerajaan Sunda Galuh, adalah kerajaan yang pernah ada dan mencakup wilayah yang sekarang menjadi provinsi Jawa Barat, bagian barat provinsi Jawa timur dan provinsi Lampung.

   BERBICARA tentang proses masuknya Islam (Islamisasi) di seluruh tanah Pasundan atau tatar Sunda yang sekarang masuk ke dalam wilayah Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat, maka mesti berbicara tentang tokoh penyebar dari agama mayoritas yang dianut suku Sunda tersebut. 

   Menurut sumber sejarah lokal (baik lisan maupun tulisan) bahwa tokoh utama penyebar Islam awal di tanah Pasundan adalah tiga orang keturunan raja Pajajaran, yaitu Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Prabu Kian Santang.
   Sampai saat ini, masih terdapat sebagian penulis sejarah yang meragukan keberadaan dan peran dari ketiga tokoh tersebut. Munculnya keraguan itu salah satunya disebabkan oleh banyaknya nama yang ditujukan kepada mereka. 

   Misalnya, dalam catatan beberapa penulis sejarah nasional disebutkan bahwa nama Paletehan (Fadhilah Khan) disamakan dengan Syarif Hidayatullah. Padahal dalam sumber sejarah lokal (cerita babad), dua nama tersebut merupakan dua nama berbeda dari dua aktor sejarah dan memiliki peranan serta kedudukan yang berbeda pula dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan (dan Nusantara).

   Selain faktor yang telah disebutkan, terdapat juga faktor-faktor lainnya yang mengakibatkan munculnya keraguan terhadap ketiga tokoh tersebut. Di antaranya seperti kesalahan pengambilan sumber yang hanya mengambil sumber asing seperti catatan orang Portugis atau Belanda; atau juga disebabkan sering banyaknya mitos yang dijumpai para penulis sejarah dalam beberapa sumber lokal. Kondisi  seperti ini sangat membingungkan dan meragukan setiap orang yang ingin mencoba merekonstruksi ketiga tokoh penyebar Islam di tanah Pasundan tersebut.

   Dengan berdasarkan pada realitas historis semacam itu, maka tulisan ini akan mencoba mengungkap misteri atau ketidakjelasan kedudukan, fungsi, dan peran ketiga tokoh itu dalam proses Islamisasi di tanah Pasundan. Dengan demikian diharapkan tulisan ini dapat memberikan sumbangan berarti terhadap khazanah sejarah kebudayaan Islam-Sunda yang sampai saat ini dirasakan masih kurang. Selain itu diharapkan juga dapat memberikan informasi awal bagi para peminat dan peneliti tentang sejarah Islam di tanah Pasundan.
Sumber-sumber Sejarah
   SEBENARNYA banyak sumber sejarah yang belum tergali mengenai bagaimana proses penyebaran Islam (Islamisasi) di tanah Pasundan. Sumber-sumber tersebut berkisar pada sumber lisan, tulisan, dan artefak (bentuk fisik). Sumber lisan yang terdapat di tanah Pasundan tersebar dalam cerita rakyat yang berlangsung secara turun temurun, misalnya tentang cerita “Kian Santang bertemu dengan Sayyidina Ali” atau cerita tentang “Ngahiang-nya Prabu Siliwangi jadi Maung Bodas” dan lainnya. Begitu pula sumber lisan (naskah), sampai saat ini msaih banyak yang belum disentuh oleh para ahli sejarah atau filolog. Naskah-naskah tersebut berada di Museum Nasional, di Keraton Cirebon Kasepuhan dan Kanoman, Museum Geusan Ulun, dan di daerah-daerah tertentu di wilayah Jawa Barat dan Banten, seperti di daerah Garut dan Ciamis. Di antara naskah yang terpenting yang dapat dijadikan rujukan awal adalah naskah Babad Cirebon, naskah Wangsakerta, Babad Sumedang, dan Babad Limbangan.

   Sumber lainnya yang dapat dijadikan alat bantu untuk mengetahui proses perkembangan Islam di tanah Pasundan ialah artefak (fisik) seperti keraton, benda-benda pusaka, maqam-maqam para wali, dan pondok pesantren. Khusus mengenai maqam para wali dan penyebar Islam di tanah Pasundan adalah termasuk cukup banyak seperti Syeikh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Rahmat (Garut), Eyang Papak (Garut), Syeikh Jafar Sidik (Garut), Sunan Mansyur (Pandeglang), dan Syeikh Qura (Kerawang). Lazimnya di sekitar area maqam-maqam itu sering ditemukan naskah-naskah yang memiliki hubungan langsung dengan penyebaran Islam atau dakwah yang telah dilakukan para wali tersebut, baik berupa ajaran fiqh, tasawuf, ilmu kalam, atau kitab al-Qur’an yang tulisannya merupakan tulisan tangan.

   BERDASARKAN sumber sejarah lokal (seperti Babad Cireboni) bahwa Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang merupakan tiga tokoh utama penyebar Islam di seluruh tanah Pasundan. Ketiganya merupakan keturunan Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya Dewata atau Sribaduga Maha Raja) raja terakhir Pajajaran (Gabungan antara Galuh dan Sunda). Hubungan keluarga ketiga tokoh tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana dan Kian Santang merupakan adik-kakak. Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan keponakan dari Cakrabuana dan Kian Santang. Syarif Hidayatullah sendiri merupakan anak Nyai Ratu Mas Lara Santang, sang adik Cakrabuana dan kakak perempuan Kian Santang.

   Cakrabuana (atau nama lain Walangsungsang), Lara Santang, dan Kian Santang merupakan anak Prabu Siliwangi dan hasil perkawinannya dengan Nyai Subang Larang, seorang puteri Ki Gede Tapa, penguasa Syah Bandar Karawang. Peristiwa pernikahannya terjadi ketika Prabu Siliwangi belum menjadi raja Pajajaran; ia masih bergelar Prabu Jaya Dewata atau Manahrasa dan hanya menjadi raja bawahan di wilayah Sindangkasih (Majalengka), yaitu salah satu wilayah kekuasaan kerajaan Galuh Surawisesa (kawali-Ciamis) yang diperintah oleh ayahnya Prabu Dewa Niskala. Sedangkan kerajaan Sunda-Surawisesa (Pakuan/Bogor) masih dipegang oleh kakak ayahnya (ua: Sunda) Prabu Susuk Tunggal.

  Sebelum menjadi isteri (permaisuri) Prabu Siliwangi, Nyai Subang Larang telah memeluk Islam dan menjadi santri (murid) Syeikh Hasanuddin atau Syeikh Quro. Ia adalah putera Syeikh Yusuf Siddiq, ulama terkenal di negeri Champa (sekarang menjadi bagian dari Vietnam bagian Selatan). Syeikh Hasanuddin datang ke pulau Jawa (Karawang) bersama armada ekspedisi Muhammad Cheng Ho (Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong) dari dinasti Ming pada tahun 1405 M. Di karawang ia mendirikan pesantren yang diberi nama Pondok Quro. Oleh karena itu ia mendapat gelar (laqab) Syeikh Qura. Ajaran yang dikembangkan oleh Syeikh Qura adalah ajaran Islam Madzhab Hanafiah.

  Pondok Quro yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin tersebut merupakan lembaga pendidikan Islam (pesantren) pertama di tanah Pasundan. Kemudian setelah itu muncul pondok pesantren di Amparan Jati daerah Gunung Jati (Syeikh Nurul Jati). Setelah Syeikh Nurul Jati meninggal dunia, pondok pesantren Amparan Jati dipimpin oleh Syeikh Datuk Kahfi atau Syeikh Idhopi, seorang ulama asal Arab yang mengembangkan ajaran Islam madzhab Syafi’iyyah.

   Sepeninggal Syeikh Hasanuddin, penyebaran Islam melalui lembaga pesantren terus dilanjutkan oleh anak keturunannya, di antaranya adalah Musanuddin atau Lebe Musa atau Lebe Usa, cicitnya. Dalam sumber lisan, Musanuddin dikenal dengan nama Syeikh Benthong, salah seorang yang termasuk kelompok wali di pulau Jawa (Yuyus Suherman, 1995:13-14).

   Dengan latar belakang kehidupan keberagamaan ibunya seperti itulah, maka Cakrabuana yang pada waktu itu bernama Walangsungsang dan adiknya Nyai Lara Santang memiliki niat untuk menganut agama ibunya daripada agama ayahnya (Sanghiyang) dan keduanya harus mengambil pilihan untuk tidak tetap tinggal di lingkungan istana. Dalam cerita Babad Cirebon dikisahkan bahwa Cakrabuana (Walangsungsang) dan Nyai Lara Santang pernah meminta izin kepada ayahnya, Prabu Jaya Dewata, yang pada saat itu masih menjadi raja bawahan di Sindangkasih untuk memeluk Islam. Akan tetapi, Jaya Dewata tidak mengijinkannya. Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang akhirnya meninggalkan istana untuk berguru menimba pengetahuan Islam. Selama berkelana mencari ilmu pengetahuan Islam, Walangsungsang menggunakan nama samaran yaitu Ki Samadullah. Mula-mula ia berguru kepada Syeikh Nurjati di pesisir laut utara Cirebon. Setelah itu ia bersama adiknya, Nyai Mas Lara Santang berguru kepada Syeikh Datuk Kahfi (Syeikh Idhopi).

   Selain berguru agama Islam, Walangsungsang bersama Ki Gedeng Alang Alang membuka pemukinan baru bagi orang-orang yang beragama Islam di daerah pesisir. Pemukiman baru itu dimulai tanggal 14 Kresna Paksa bukan Caitra tahun 1367 Saka atau bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 849 Hijrah (8 April 1445 M). Kemudian daerah pemukiman baru itu diberi nama Cirebon (Yuyus Suherman, 1995:14). Penamaan ini diambil dari kata atau bahasa Sunda, dari kata “cai” (air) dan “rebon” (anak udang, udang kecil, hurang). Memang pada waktu itu salah satu mata pencaharian penduduk pemukiman baru itu adalah menangkap udang kecil untuk dijadikan bahan terasi. Sebagai kepada (kuwu; Sunda) pemukiman baru itu adalah Ki Gedeng Alang Alang, sedangkan wakilnya dipegang oleh Walangsungsang dengan gelar Pangeran Cakrabuana atau Cakrabumi.

   Setelah beberapa tahun semenjak dibuka, pemukian baru itu (pesisir Cirebon) telah menjadi kawasan paling ramai dikunjungi oleh berbagai suku bangsa. Tahun 1447 M, jumlah penduduk pesisir Cirebon berjumlah 348 jiwa, terdiri dari 182 laki-laki dan 164 wanita. Sunda sebanyak 196 orang, Jawa 106 orang, Andalas 16 orang, Semenanjung 4 orang, India 2 orang, Persia 2 orang, Syam (Damaskus) 3 orang, Arab 11 orang, dan Cina 6 orang. Agama yang dianut seluruh penduduk pesisir Cirebon ini adalah Islam.

  Untuk kepentingan ibadah dan pengajaran agama Islam, pangeran Cakrabuana (Walangsungsang atau Cakrabumi, atau Ki Samadullah) kemudian ia mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Sang Tajug Jalagrahan (Jala artinya air; graha artinya rumah), Mesjid ini merupakan mesjid pertama di tatar Sunda dan didirikan di pesisir laut Cirebon. Mesjid ini sampai saat ini masih terpelihara dengan nama dialek Cirebon menjadi mesjid Pejalagrahan. Sudah tentu perubahan nama ini, pada dasarnya berpengaruh pada reduksitas makna historisnya. Setelah mendirikan pemukiman (padukuhan; Sunda) baru di pesisir Cirebon, pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Ketika di Mekah, Pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa (sultan) kota Mesir pada waktu itu. Syarif Abdullah sendiri, secara geneologis, merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw. generasi ke-17.

   Dalam pertemuan itu, Syarif Abdullah merasa tertarik hati atas kecantikan dan keelokan Nyai Mas Lara Santang. Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana mendapat gelar Haji Abdullah Iman, dan Nyai Mas Lara Santang mendapat gelar Hajjah Syarifah Muda’im. Selanjutnya, Nyai Mas Larasantang dinikahkan oleh Pangeran Cakrabuana dengan Syarif Abdullah. Di Mekah, Pangeran Walangsungsang menjadi mukimin selama tiga bulan. Selama tiga bulan itulah, ia belajar tasawuf kepada haji Bayanullah, seorang ulama yang sudah lama tinggal di Haramain. Selanjutnya ia pergi ke Baghdad mempelajari fiqh madzhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Maliki.

   Selang beberapa waktu setelah pengeran Cakrabuana kembali ke Cirebon, kakeknya dari pihak ibu yang bernama Mangkubumi Jumajan Jati atau Ki Gedeng Tapa meninggal dunia di Singapura (Mertasinga). Yang menjadi pewaris tahta kakeknya itu adalah pangeran Cakrabuana. Akan tetapi, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan tahta kekuasaan kakeknya di Singapura (Mertasinga). Ia membawa harta warisannya ke pemukiman pesisir Cirebon. Dengan modal harta warisan tersebut, pangeran Cakrabuana membangun sebuah keraton bercorak Islam di Cirebon Pesisir. Keraton tersebut diberi nama Keraton Pakungwati. Dengan berdirinya Keraton Pakungwati berarti berdirilah sebuah kerajaan Islam pertama di tatar Sunda Pajajaran. Kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Pangeran Cakrabuana tersebut diberi nama Nagara Agung Pakungwati Cirebon atau dalam bahasa Cirebon disebut dengan sebutan Nagara Gheng Pakungwati Cirebon.
   Mendengar berdirinya kerajaan baru di Cirebon, ayahnya Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata (atau Prabu Suliwangi) merasa senang. Kemudian ia mengutus Tumenggung Jayabaya untuk melantik (ngistrénan; Sunda) pangeran Cakrabuana menjadi raja Nagara Agung Pakungwati Cirebon dengan gelar Abhiseka Sri Magana. Dari Prabu Siliwangi ia juga menerima Pratanda atau gelar keprabuan (kalungguhan kaprabuan) dan menerima Anarimakna Kacawartyan atau tanda kekuasaan untuk memerintah kerajaan lokal. Di sini jelaslah bahwa Prabu Siliwangi tidak anti Islam. Ia justeru bersikap rasika dharmika ring pamekul agami Rasul (adil bijaksana terhadap orang yang memeluk agama Rasul Muhammad).
  Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang pertama sukses menyebarkan agama Islam di tatar Sunda adalah Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji Abdullah Iman. Ia merupakan Kakak Nyai Mas Lara Santang dan Kian Santang, dan ketiganya merupakan anak-anak dari Prabu Siliwangi. Dengan demikian, ia merupakan paman (ua; Sunda) dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Ia dimakamkan di Gunung Sembung dan makamnya berada luar komplek pemakaman (panyawéran; Sunda) Sunan Gunung Jati.

   SEBAGAIMANA halnya dengan prabu Siliwangi, Kian Santang merupakan salah satu tokoh yang dianggap misterius. Akan tetapi tokoh ini, dalam cerita lisan dan dunia persilatan (kependekaran) di wilayah Sunda, terutama di daerah Priangan, sangatlah akrab dan legendaris dengan pikiran-pikiran orang Sunda. Dalam tradisi persilatan, Kian Santang terkenal dengan sebutan Gagak Lumayung. Sedangkan nama Kian Santang sendiri sangat terkenal dalam sejarah dakwah Islam di tatar Sunda bagian pedalaman.




dewala

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiIGSws1tZKIeuKGxOo1ecnPbm021-XXZ75Y_W-nuslpP5-JdGv_dapnWWOQ9pdHe9xDIyCRxgq8wc2EBbLoui_mGe3YxClvznK4_LV9ZAKGx3raL1VNx_rlaM-N1O3_JfrSHmuFNfNTDk/s320/dawala_2.jpg 

Dewala


     Dewala merupakan anak kedua dari semar dan sutiragen, iya merupakan sosok yang bijaksana tapi humoris akan tetapi asal usul dawala lahir masih misterius. dawala merupakan sosok masyarakat kecil tanah nusantara walaupun mempunya wajah dengan hidung panjang iya tidak berkecil hati tetap ramah kesesama.



cepot



http://rizki.staf.upi.edu/files/2015/07/2612234-si-cepot-wayang-golek-facebook-twitter.jpg 

Astrajingga ( Cepot )

    Cepot  yaitu anak pertama dari tiga bersaudara yang di lahirkan dari kedua orang tua yang bernama Semar badranaya ( ayah ) dan sutiragen ( ibu )
Nama cepot mengandung arti yaitu :
SASTRAJINGGA.
SASTRA : sebuah tulisan ( ungkapan manusia ) dan
JINGGA : Ya itu Merah atau dalam bahasa sunda di sebut ( beuerum )
Menurut cerita tatar sunda, cepot di lahirkan di sebuah gubuk ( saung ).

    Cepot yang terkenal humoris tidak pernah memandang dari kalangan manapun sekali pun dari kalangan bangsawan, sifat cepot akan tetap selalu menghibur orang-orang yang berada dekat dengan dia. Tergadang ada yang suka maupun ada yang tidak suka, cepot tetap sebagai seorang humoris dengan gaya dan cara bicaranya yang terkadang jika ada beberapa orang yang membuat dia kesal, cepot hanya tertawa sambil menasehati bahkan sering terlontar beberapa kritikan kepada orang tersebut, dengan tujuan dan niat baiknya.
Dalam cerita pewayangan, sosok cepot sering membawa senjata pamungkas nya yaitu sebuah golok ( bedog ) dan sebuah anak panah ( jamparing ) yang akan selalu ia bawa kemana pun dia pergi.
    Lawan musuh cepot juga di ceritakan dalam cerita pewayangan seperti sosok Denawa yaitu golek buta bahkan sampai mahluk raksasa yang berwujud aneh.
 
 
   Sosok cepot biasanya di keluarkan di dalam cerita pewayangan di pertengahan cerita, yang sering mendampingi para ksatria perang seperti arjuna,gatot kaca bahkan kastria madukara yang di ceritakan dalam wayang golek sebagai majikan cepot.
   Kehadiran cepot di tengah pertunjukan wayang golek sering di nanti-nanti oleh para penggemar nya, karena sosoknya yang humoris dan suka menghibur orang banyak.
   Kesimpulanya nama dan sosok cepot adalah sebuah watak yang keras kepala,bodoh menurut orang yang memandangnya sebelah mata, tetapi ilmu dan wawasanya sangat luas dan banyak mengandung arti tentang perjalanan hidup manusia.
  Itulah artikel tentang sosok cepot dalam dunia pewayangan yang sampai detik ini masih tersohor di seluruh pelosok Negeri nusantara.( indonesia )